Powered By Blogger

Sabtu, 01 Juni 2013

DeMokRasi Dan IMplEmenTaSi ^^


PENDAHULUAN

“Demokrasi”

Demokrasi memungkinkan rakyat menentukan pemimpinnya melalui pemilihan umum.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",yang dibentuk dari kata δμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tiranikediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan.[11] Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.










Sejarah demokrasi

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapanegara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus ataumufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarkimonarkitirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan.  
Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena.  Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.




















A. Demokrasi dan Implementasinya

Pengertian Implementasi Menurut Para Ahli - Impelentasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap fix. berikat ane akan sedikit info tentang pengertian implentasi menurut para ahli. semoga info tentang pengertian implementasi menurut para ahli bisa bermanfaat.
              Pembahasan tentang peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan.
              Pertama hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan le¬bih dari 100 Sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara de¬mokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokra¬si).
Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda (Rais, 1995: 1).

               Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam sistem pe¬merintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-ma¬cam seperti:
1. pertama, sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presi¬den yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
2. Kedua, sis¬tem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara, sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjadi simbol kedaulatan dan persatuan dan;
3. ketiga, sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlemen¬ter, yang antara lain dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan di Perancis atau di Indonesia berdasar UUD 1945.
Dengan alasan tersebut menjadi jelas bahwa asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai model terbaik bagi dasar, penyelenggaraan negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda, di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.

Demokrasi tidaklah hanya dipandang dari aspek kehendak rakyat (the will of the people) dan sumber serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good). Menurut Schumpeter demokrasi harus dimaknai dari sudut prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh dukungan berupa suara rakyat. Demokrasi pada taraf metode tidak melibatkan unsur emosi, akan tetapi lebih menekankan pada akal sehat.
Menurut Donald Horowitz (2006), “negara superpower satu-satunya di dunia secara retorik dan militeristik mempromosikan sistem politik yang tetap tidak terdefinisikan sampai saat ini dan hal tersebut mempertaruhkan kredibilitas dan sumber daya teramat berharga demi mencapai maksudnya.

Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu pemahaman normatif dan pemahaman empirik (procedural democracy). Secara normatif demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh satu negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ungkapan normatif demikian biasanya, diterjemahkan dalam konstitusi pada masing- masing negara.
Istilah demokrasi yang diturunkan dari bahasa Yunani demos kratos (berarti rakyat berkuasa), dimaksudkan untuk menunjukkan suatu pemerintahan, dimana rakyat memegang peranan yang menentukan.
Demokrasi semula dilaksanakan oleh negara Athena sebagai suatu sistem pemerintahan.
Di atas dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh rakyat. Ada juga yang mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dan banyak pengertian-pengertianyang bersifat inspiratif lainnya. Pengertian demokrasi secara konseptual dapat dikemukakan disini adalah: “demokrasi dalam suatu masyarakat yang kompleks, dapat dibatasi artinya sebagai sistem politik yang melaksanakan ketentuan- ketentuan konstitusi dan secara teratur dalam waktu- waktu tertentu mengajukan penggantian terhadap pejabat- pejabat pemerintah, dan mekanisme sosial yang mengijinkan sebanyak mungkin rakyat mempengaruhi keputusan- keputusan yang penting dengan memilih calon- calon pada jabatan- jabatan politik” (S.M. Lipset, 1960:43).
Dalam negara yang menggunakan demokrasi modern, rakyat berpartisipasi secara tidak langsung, yaitu melalui wakil-wakil rakyat. Dalam masalah perwakilan inipun timbul masalah, yaitu bagaimana penyesuaian antara perwakilan dengan opini dari warga- warganya.
Menurut Charles E. Merriamsedikitnya ada 4 faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya demokrasi adalah:
1.      Adanya program sosial positif yang meliputi masalah penempatan tenaga kerja, stabilitas ekonomi, nasional income dan lain- lain.
2.      Kondisi- kondisi yang baik ke arah terlaksanya demokrasi, antara lain: jaminan asasi fungsionalisasi- sistem administrasi yang baik dan lain- lain.
3.      Sistem peradilan yang baik dan benar- benar ditaati dan dilaksanakan.
4.      Memiliki keyakinan terhadap cita- cita demokrasi seperti penghargaan yang lebih baik tentang human dignity dan rule of law.

Perlu diingatkan bahwa dalam demokrasi yang penting adalah dijunjung tingginya hak asasi manusia sebagai penghargaan terhadap hakikat manusia itu sendiri dengan memperhatikan kepentingan negara.




Secara etimologis Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani.
“demos” berarti rakyat dan
“kratos/kratein” berarti kekuasaan.
Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people).
Ada pula definisi singkat untuk istilah demokrasi yang diarti¬kan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun demikian penerapan demokrasi diberbagai nega¬ra di dunia, memiliki ciri khas dan spesifikasi masing-masing, yang la-zimnya sangat dipengaruh oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatu Negara.
        Demokrasi mempunyai arti yang penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk me¬nentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasi¬onal implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting dalam asas demokrasi ini berikut akan dikutip beberapa pengertian demokrasi.
       Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam ma¬salah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam meni¬lai kebijakasanaan negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat (Noer, 1983: 207). Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rak¬yat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorga¬niasasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau asas persetu¬juan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
        Dalam hubungan ini menurut Henry B. Mayo bahwa sistem po¬litik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksa¬naan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang di¬awasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Mayo, 1960: 70).
         Meskipun dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat di¬letakkan pada posisi sentral “rakyat berkuasa” (government or role by the people) tetapi dalam praktiknya oleh Unesco disimpulkan bahwa
ide demokrasi itu dianggap ambiguous atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai lem¬baga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, “atau mengenai keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi isti¬lah ide dan praktik demokrasi (Budiardjo, 1982: 50). Hal ini bisa dili¬hat betapa negara-negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata mengimplementasikannya secara tidak sama. Ketidaksamaan tersebut bahkan bukan hanya pada pembentukan lembaga-lembaga atau aparatur demokrasi, tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi peranan maupun peranan rakyat.
Memang sejak dimunculkannya kembali asas demokrasi yaitu setelah tenggelam beberapa abad dari permukaan Eropah telah me¬nimbulkan masalah tentang siapakah sebenarnya yang lebih berperan dalam menentukan jalannya negara sebagai organisasi tertinggi: nega¬ra ataukah masyarakat? Dengan kata lain, negarakah yang menguasai negara? Pemakaian demokrasi sebagai prinsip hidup bernegara sebe¬narnya telah melahirkan fiksi-yuridis bahwa negara adalah milik ma-syarakat, tetapi pada fiksi-yuridis inilah telah terjadi tolak-tarik kepen¬tingan, atau kontrol, tolak-tarik mana yang kemudian menunjukkan aspel lain yakni tolak-tarik antara negara-masyarakat karena kemu¬dian negara terlihat memiliki pertumbuhannya sendiri sehingga lahir¬lah konsep tentang negara organis (Mahasin, 1984: 2). Pemahaman atas masalah ini akan lebih jelas melalui penelusuran sejarah perkem¬bangan prinsip itu sebagai asas hidup negara yang fundamental.
          Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hu¬bungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan dalam hi¬dup bernegara antara abad ke 4 sebelum masehi sampai abad 6 ma¬sehi. Pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaanya, demokrasi yang di¬praktekkan bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara lang¬sung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi se¬derhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang 300.000 orang dalam satu negara. Lebih dari itu ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi yang meru¬pakan sebagian kecil dari seluruh penduduk. Sebagian besar yang ter¬diri dari budak belian, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak ti¬dak dapat menikmati hak demokrasi (Budiardjo, 1982: 54).
           Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan lenyap dari muka Dunia Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku Eropah Ba¬rat dan Benua Eropah memasuki abad Pertengahan (600-1400). Ma¬syarakat abad Pertengahan ini dicirikan oleh struktur sosial yang feo¬dal, kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh Paus dan Pejabat¬-pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh pere¬butan kekuasaan di antara para bangsawan. Dengan demikian, masya¬rakat Abad Pertengahan terbelenggu oleh kekuasaan feodal dan keku¬asaan pemimpin-pemimpin agama, sehingga tenggelam dalam apa yang disebut sebagai masa kegelapan. Kendati begitu, ada sesuatu yang penting berkenaan dengan demokrasi pada abad pertengahan itu, yakni lahirnya dokumen Magna Charta (Piagam Besar ), sesuatu pia¬gam yang berisi semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja John di Inggris bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan previleges bahwasannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan lain-lain. Lahirnya piagam ini, dapat dikatakan sebagai lahirnya suatu tonggak baru bagi perkembangan demokrasi, sebab dari piagam tersebut terlihat adanya dua prinsip da¬sar:
pertama, kekuasaan Raja harus dibatasi;
kedua, hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan Raja (Ramdlonnaning, 1983: 9).
           Ranaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani kuno, yang berupa gelombang-gelom¬bang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad ke¬-14 dan mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan16.
            Masa Renais¬sance adalah masa ketika orang mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan dengan kebebasan bertindak yang seluas-luasnya sepanjang sesuai dengan yang dipikirkan, karena dasar ide ini adalah kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia tanpa boleh ada orang lain yang menguasai atau membatasi dengan ikatan-ikatan. Hal itu di¬samping mempunyai segi positif yang cemerlang dan gemilang karena telah mengantarkan dunia pada kehidupan yang lebih modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi juga memberi sisi negatifnya sendiri, sebab dengan adanya pemikiran untuk lepas dari semua ikatan (dan orang tak mungkin hidup tanpa ikatan-ikatan) berkembanglah sifat-sifat buruk dan asosial seperti ke bencian, iri hati, atau cemburu yang dapat meracuni penghidupan yang mengakibatkan terjadinya perjuangan sengit di setiap lapangan, dengan saling bersiasat, membujuk, menipu, atau melakukan apa saja diinginkan kendati melalui cara yang tercela secara moral.
            Selain Renaissance, peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali “demokrasi” yang dahulu tenggelam dalam abad Pertengahan adalah terjadinya Reformasi, yakni revolusi agama yang terjadi di Eropah Barat pada abad ke-16 yang pada mulanya menunjukkan sebagai pergerakkan perbaikan keadaan dalam gereja Katolik tetapi kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestanisme. Reformasi dimulai pada pintu gereja Wittenberg (31 Oktober 1517), yang kemudian segera memancing terjadinya serangan terhadap gereja. Luther mempunyai ajaran tentang pengampunan dengan kepercayaan saja sebagai pengganti upacara-upacara, pekerjaan baik dan perantaraan gereja, serta mendesak supaya membaca kitab suci yang ternyata telah memberikan pertanggungjawaban lebih besar kepada perseorangan untuk keselamatan sendiri. Ajaran yang kemudian disambut dimana-mana itu telah menyulut api pemberontakan secara cepat dan meluas di jerman dan sekitarnya, sengketa dengan gereja dan kaisar berjalan lama dan getir yang tidak terselesaikan dengan diselenggarakannya. muktamar-muktamar di Speyer (1526, 1529) dan di Augsburg (1530) Berakhirnya Reformasi ditandai dengan terjadinya perdamaian Westphalia (1648) yang ternyata mampu menciptakan keseimbangan sete.lah kelelahan akibat perang yang berlangsung selama 30 tahun. Na¬mun, Protestanisme yang lahir dari Reformasi itu tidak hilang dengan selesainya Reformasi, tetapi tetap menjadi kekuatan dasar di dunia Barat sampai sekarang (Shadily, 1977: 937).
Dua kejadian (Renaissance dan Reformasi) ini telah mempersiapkan Eropah masuk ke dalam Aufklarung (Abad Pemikiran) dan Ra¬sionalisme yang mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) semata-mata yang pada gilirannya kebebasan berpikir menelorkan lahirnya pikiran tentang kebebasan politik. Dari sini timbullah gagasan tentang hak-hak politik rakyat yang tidak boleh diselewengkan oleh raja, serta timbul kecaman-kecaman terhadap raja yang pada waktu rezim memerintah dengan kekuasaan tak terbatas da¬lam gagasan politik dan bentuk monarki-monarki absolut. Gagasan¬-gagasan politik dan kecaman terhadap absolutisme monarki itu telah pula didukung oleh golongan menengah (midleclass) yang waktu itu mulai berpengaruh karena kedudukan ekonomi dan mutu pendidikan golongan ini relatif baik (Budiardjo, 1982: 55).
            Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki didasar¬kan pada teori rasionalistis sebagai “sosial-contract” (perjanjian masy¬arakat) yang salah satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikua¬sai oleh hukum yang timbul dari alam (natural) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal yang mempermasalahkan ber¬lakunya hukum alam (naturallaw) bagi semua orang dalam bidang politik telah melahirkan pendapat umum bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasarkan pada suatu perjanjian yang mengikat kedua be¬lah pihak; Raja diberi kekuasaan untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana yang memungkinkan rakyat menikmati hak¬-hak alamnya dengan aman, sedangkan rakyat akan mentaati pemerin¬tahan raja, asal hak-hak alamnya juga terjamin (Budiardjo, 1982: 56).

             Tampak bahwa teori hukum alam merupakan usaha untuk men¬obrak pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat alam suatu asas vang disebut demokrasi (pemerintah rakyat). Dua fil¬suf besar yaitu John Locke dan Montesquieu, masing-masing dari lngg¬ris dan Perancis telah memberikan sumbangan yang besar dagi gag¬asan pemerintahan demokrasi ini. John Locke (1632- 1704) mengem¬ukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, keb¬ebasan dan hak memiliki (live, liberal, property); sedangkan Montesquieu (1689-1955) mengemukakan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui “Trias Politika”-nya, yakni suatu sistem pemisahan kekusaan dalam negara ke dalam ke¬kuasaan legislatis, eksekutif dan yudikatif yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip nya semua kekuasaan itu tak boleh dipegang hanya seorang saja.
          Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan inilah terlihat munculnya kembali ide pemerintahan (demokrasi). Tetapi dalam kemunculannya sampai saat ini demo telah melahirkan dua konsep demokrasi yang berkaitan dengan peranan negara dan peranan masyarakat, yaitu demokrasi konstitusional abad ke-19 dan demokrasi konstitusional abad ke-20 yang keduanya senantiasa dikaitkan dengan konsep negara hukum (Mahfud, 1999;20).



























a. Dilihat dari cara penyaluran kehendak rakyat
   1) Demokrasi langsung
       Demokrasi langsung ialah demokrasi dimana rakyat secara langsung mengemukakan kehendaknya dalam suatu rapat yang dihadiri seluruh rakyatnya. Demokrasi langsung pernah dijalankan di negara-negara kota pada jaman yunani kuno.
Kelemahan
                -akan terjadinya perdebatan yang akan mengganggu jalannya rapat
Gu jalan nya
   2) Demokrasi tidak langsung(demokrasi perwakilan)
       Demokrasi perwakilan yaitu Demokrasi dimana rakyat menyampaikan kehendakannya melalui dewan perwakilan rakyat.
Demokrasi perwakilan di jalankan oleh negara-negara pada jaman modern.
Kelemhan
                -

b.  Dilihat dari titik berat paham yang dianut

    1) Demokrasi barat(demokrasi liberal)
                Demokrasi barat lebih menitikberatkan pada kebebasan bergerak,berpikir dan mengeluarkan pendapat
                -menjunjung tinggi persamaan hak pada bidang politik
Kelemahan demokrasi liberal :
                - adanya kesenjanagan yang lebar antara golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi  lemah
                - golongan ekonomi kuat dapat membeli suara rakyat dan suara DPR

2)  Demokrasi timur atau komunis
     Demokrasi timur lebih menitik beratkan pada paham kesamaan yg menghapuskan perbedaan kelas diantara sesama rakyat.

     Kelebihan demokrasi timur :
     - kesenjangan ekonomi kecil,
     - menjunjung tinggi persamaan dalam bidabg ekonomi.

     Kelemahan demokrasi timur
     - persamaan hak bidang politik kurang diperhatikan.
     - Tidak adanya kompetisi dan tidak diakuinya hak milik pribadi menyebabkan etos kerjanya kurang baik.




3)  Demokrasi gabungan
     Demokrasi yg berprinsip mengambil kebaikan dan membuang kelemahan dari demokrasi barat ke timur.
     Dalam demokrasi gabungan :
     - hak milik pribadi diakui,namun hak milik pribadi juga berfungsi sosial
     -upaya menyejahterahkan rakyat jangan sampai menghilangkan drajat dan HAM

c.   Sistem demokrasi modern
    1)  Demokrasi dengan sistem parlementer
     - kekuasaan legislatif (DPR) di atas eksekutif pemerintah
     - presiden atau raja hanya sebagai kepala negara y6g kedudukannya sebagai lambang
      Kebaikan demokrasi dengan sistem parlementer
        - pengaruh rakyat terhadap politik yg dijalankan pemerintah besar sekali
        - kontrol rakyat terhadap pemerintah baik
      Kelemahan demokrasi dalam sistem parlementer
        - Sering timbul krisis kabinet
        - tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota DPR

     2)  Demokrasi Dengan Pemisahan kekuasaan
          Sistem ini menganut ajaran montesquieu
       - kekuasaan legislatif :kekuasaan untuk membuat undang-undang
       - kekuasan eksekutif : kekuasaan untuk melaksanakan UU
       - kekuasaan yudikatif : kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan UU

  Ciri-ciri sistem pemisahan kekuasaan
  - kepala negara merupakan penguasa eksekutif yang nyata
  - kekuasaan yudikatif tidak dapat di campuri kekuasaan lain

  Keuntungan sistem pemisahan kekuasaan
   - pemerintah setabil karana presiden dan mentri tidak dapat dijatuhkan oleh DPR
   - pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya

  Kelemahan sistem pemisahan kekuasaan :
   - pengawasan pemerintahan kurang berpengaruh
   - pengaruh rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang mendapatkan perhatian







D.                 Demokrasi di Indonesia

1.    Perkembangan Demokrasi di Indonesia

          Akhir milenium kedua ditandai dengan perubahan besar di Indonesia. Rejim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun yang dipimpin oleh Soeharto akhirnya tumbang.
Demokrasi Pancasila versi Orde Baru mulai digantikan dengan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Hanya saja tidak mudah mewujudkan hal ini, karena setelah Soeharto tumbang tidak ada kekuatan yang mampu mengarahkan perubahan secara damai, bertahap dan progresif. Yang ada justru muncul berbagai konflik serta terjadi perubahan genetika sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tak lepas dari pengaruh krisis moneter yang menjalar kepada krisis keuangan sehingga pengaruh depresiasi rupiah berpengaruh signifikan terhadap kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Inflasi yang dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sangat berpengaruh kepada kualitas kehidupan masyarakat. Rakyat Indonesia sebagian besar masuk ke dalam sebuah era demokrasi sesungguhnya dimana pada saat yang sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru tidak lebih baik dibandingkan ketika masa Orde Baru.
Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi.
·         Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi.

          Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante mengeluarkan undang-undang dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebagai salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai kebijakan politik pada masa itu.
          Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. namun tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM sehingga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu ini telah terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bulan Mei 1998.
Selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
               Namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar hal tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini terpendam dapat diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
             Jika diasumsikan bahwa pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin yang mampu membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, maka seharusnya dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan mengalami peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Namun sayangnya hal ini belum terjadi secara signifikan. Hal ini sebagai akibat masih terlalu kuatnya kelompok yang pro-KKN maupun anti perbaikan.
           Demokrasi di Indonesia masih berada pada masa transisi dimana berbagai prestasi sudah muncul dan diiringi ”prestasi” yang lain. Sebagai contoh, munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirasakan mampu menimbulkan efek jera para koruptor dengan dipenjarakannya beberapa koruptor. Namun di sisi lain, para pengemplang dana bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) mendapat pengampunan yang tidak sepadan dengan ”dosa-dosa” mereka terhadap perekonomian.
Namun demikian, masih ada sisi positif yang bisa dilihat seperti lahirnya undang-undang sistem pendidikan nasional yang mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
         
          Demikian pula rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi yang masih dibahas di parlemen. Rancangan undang-undang ini telah mendapat masukan dan dukungan dari ratusan organisasi Islam yang ada di tanah air. Hal ini juga memperlihatkan adanya partisipasi umat Islam yang meningkat dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Sementara undang-undang sistem pendidikan nasional yang telah disahkan parlemen juga pada masa pembahasannya mendapat dukungan yang kuat dari berbagai organisasi Islam.
          Sementara itu, ekonomi di era demokrasi ternyata mendapat pengaruh besar dari kapitalisme internasional. Hal ini menyebabkan dilema. Bahkan di tingkat pemerintah, ada kesan mereka tunduk dibawah tekanan kapitalis internasional yang tidak diperlihatkan secara kasat mata kepada publik namun bisa dirasakan.
          Tantangan dan Harapan Amartya Sen, penerima nobel bidang ekonomi menyebutkan bahwa demokrasi dapat mengurangi kemiskinan. Pernyataan ini akan terbukti bila pihak legislatif menyuarakan hak-hak orang miskin dan kemudian pihak eksekutif melaksanakan program-program yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal itu belum terjadi secara signifikan.
           Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi. Ini adalah salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
             Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik.
Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan bermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi, berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka bisa menikmati demokrasi.
             Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak.
Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu menguntungkan Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu sendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya menguntungkan Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya demokrasi di Indonesia.
Anarkisme yang juga menggejala pasca kejatuhan Soeharto juga menjadi tantangan bagi demokrasi di Indonesia. Anarkisme ini merupakan bom waktu era Orde Baru yang meledak pada saat ini. Anarkisme pada saat ini seolah-olah merupakan bagian daridemonstrasi yang sulit dielakkan, dan bahkan kehidupan sehari-hari. Padahal anarkisme justru bertolak belakang dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Islam.
              Harapan dari adanya demokrasi yang mulai tumbuh adalah ia memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi bisa memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu mengurangi kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah kesehatan dan pendidikan.
Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi di negara yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat merugikan bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan berdampak positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme maupun militerisme.
                Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan ekonomi mereka serta bidang kehidupan lainnya. Demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang peduli dengan rakyat dan sebaliknya bisa melahirkan pemimpin yang buruk. Harapan rakyat akan adanya pemimpin yang peduli di masa demokrasi ini adalah harapan dari implementasi demokrasi itu sendiri.
Di masa transisi ini, implementasi demokrasi masih terbatas pada kebebasan dalam berpolitik, sedangkan masalah ekonomi masih terpinggirkan. Maka muncul kepincangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik dan ekonomi adalah dua sisi yang berbeda dalam sekeping mata uang, maka masalah ekonomi pun harus mendapat perhatian yang serius dalam implementasi demokrasi agar terjadi penguatan demokrasi. Semakin rendahnya tingkat kehidupan ekonomi rakyat akan berdampak buruk bagi demokrasi karena kuatnya bidang politik ternyata belum bisa mengarahkan kepada perbaikan ekonomi. Melemahnya ekonomi akan berdampak luas kepada bidang lain, seperti masalah sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang lemah jelas tidak bisa memperkuat demokrasi, bahkan justru bisa memperlemah demokrasi.
             Demokrasi di Indonesia memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berumpul, berpolitik dimana masyarakat mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Demokrasi Keblinger
            Saat ini terjadi sebuah fenomena menarik dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Artis, sebagai bagian dari warga negara, ramai-ramai mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik untuk menduduki jabatan publik.Dalam konteks sejarah politik bangsa, masuknya artis dalam kancah politik bukan sesuatu yang baru. Artis telah membanjiri kehidupan politik praktis, terutama sejak masa Orde Baru (1966-1998). Hampir semua partai politik saat itu punya unsur artis dalam aktivitas politiknya.
Tidak saja dalam kapasitasnya sebagai vote getter seperti Rhoma Irama di PPP, Harry de Fretes, Rano Karno untuk PDI atau beberapa artis safari yang berkampanye untuk Golkar, termasuk di antaranya Titiek Puspa, Camelia Malik, tetapi juga dalam kapasitas sebagai anggota badan legislatif seperti Rhoma Irama yang uniknya masuk ke dalam parlemen atas budi baik Golkar.
Fungsinya tidak saja dalam kapasitas penarik massa ataupun anggota Dewan, tetapi bahkan saat ini telah pula memasuki wilayah eksekutif meski baru pada wilayah lokal. Untung saja badan yudikatif, yang memang didisain eksklusif oleh para “penemu” demokrasi di Barat sejak awal, harus diisi oleh kalangan profesional di bidang hukum di mana kapabilitasnya lebih jelas dan terukur.
Seandainya tidak, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan seorang pelawak dalam jajaran hakim konstitusi atau pejabat penting di Mahkamah Agung.
Makhluk Visioner
Tidak ada sebuah syarat baku yang sama diterapkan di seluruh dunia untuk menguji kelayakan dan kepantasan seorang wakil rakyat.
           Namun setidaknya dari semangat demokrasi, baik dalam makna normatif, prosedural ataupun substansial, diisyaratkan tiga karakteristik yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat, yakni memiliki kejelasan visi (vision), daya dukung publik yang memadai (acceptibility), dan rasa tanggung jawab (responsibility).
          Ketiganya jelas syarat minimal untuk membentuk sebuah demokrasi yang rasional, kontekstual, dan bermoral. Dalam praktiknya, ketiga syarat itu tidak disematkan pada sekelompok orang tertentu. Bahkan dalam logika demokrasi, yang mengakui persamaan, semua orang dianggap mungkin untuk memiliki ketiganya.
Atas dasar pemahaman inilah secara substansial seorang artis sebagai seorang warga negara patut diperlakukan sama dengan kalangan lain yang memiliki profesi bukan artis. Persoalannya adalah apakah artis yang saat ini berputar haluan menjadi wakil rakyat memiliki kemampuan untuk memenuhi ketiga syarat itu? Tentu saja kita tidak bisa menghakimi seseorang dari kulit luarnya sebagaimana pepatah don’t judge the book form the title.
Mungkin saja seorang artis itu memang benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Sementara belum tentu juga mereka yang bukan dari kalangan artis benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Terbukti mereka yang tertangkap melakukan korupsi dan dicap sebagai “politisi busuk” berasal dari beragam latar belakang profesi. Namun, tidak salah juga jika ada kalangan yang mengkhawatirkan masuknya artis dalam dunia perpolitikan kita.
Alasannya sederhana, dengan maraknya infotainment, sebenarnya gerak langkah artis sudah terpantau habis-habisan oleh publik. Dari informasi yang didapatkan itu, memang jarang sekali artis-artis tertangkap sedang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pengasahan kapabilitas sebagai seorang wakil rakyat.
Tidak ditemui sebelumnya misalnya artis seperti Wulan Guritno, Eko Patrio, atau Dicky Chandra sedang mengasah visi diri untuk menawarkan solusi konkret jangka pendek bagi rakyat, apalagi untuk menjawab sebuah pertanyaan serius “mau dibawa ke mana Indonesia lima puluh tahun kedepan?” Ada yang mengatakan segalanya akan dapat diatasi dengan learning by doing. Toh kebanyakan pejabat publik juga belum berpengalaman ketika menjabat.
Pandangan ini sekilas memang benar. Namun sejatinya salah. Sebab dalam konteks perpindahan profesi, yang melibatkan kemampuan, perasaan, dan pengorbanan yang demikian besar (great leap), dan pekerjaan itu secara esensial menyangkut hidup orang banyak, istilah learning by doing adalah sebuah keabsurdan.
Kalau Anda ingin menjadi ahli membuat kue, mungkin bisa ditempuh dalam beberapa hari, itu pun dengan risiko kegagalan paling hanya kue menjadi bantat atau gosong. Namun, kalau Anda ingin mendapatkan kemampuan mengurus jutaan orang dengan risiko makin meluasnya pengangguran dan hancurnya kesejahteraan atau bahkan runtuhnya sebuah bangsa, tentu Anda memerlukan waktu yang lebih lama untuk menjadi kampiun di bidang itu.
Masalahnya sederhana saja, apakah kita mau menyerahkan nasib kita kepada orang yang masih harus belajar banyak? Apakah kita mau disopiri oleh orang yang masih belum layak turun ke jalan?
Kenapa Bisa Terjadi?
Pertama, hal ini karena memang aturan main yang memungkikan hal itu. Prof Syamsuddin Haris (2008) mengindikasikan bahwa sistem pemilihan langsung memungkinkan popularitas berbicara banyak.
Di sinilah paradoks demokrasi. Karena suara rakyat ternyata bisa menjadi bencana ketika memilih orang yang tak kompeten. Sebagaimana yang dikhawatirkan Plato, alih-alih menjadi vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), fenomena ini lebih dekat kepada vox populi vox diaboli (suara rakyat suara setan).
Kedua, selain sistem pemilihan, tradisi politik bangsa ini turut menyumbang bagi munculnya fenomena artis berpolitik ini. Tradisi pertama adalah adanya “pertanggungjawaban kolektif” ketimbang “pertanggungjawaban individual” dalam ranah badan legislatif. Hal ini mengakibatkan keunggulan dan atau ketidakberesan seorang anggota Dewan ditanggung beramai-ramai oleh fraksi atau partai.
Dalam kondisi seperti itu, artis atau siapa pun yang tidak bisa bekerja dengan baik tidak terekspos dan bahkan dapat bersembunyi di ketiak fraksi dan teman-temannya. Sementara tradisi kedua adalah status “ban serep” bagi orang nomor dua pemerintahan. Tradisi ini memang mulai tergerus di tingkat nasional dan di beberapa daerah. Namun secara umum tradisi memberikan kerja-kerja seremonial (dan bukan substansial) kepada orang nomor dua itu masih berlaku di banyak daerah.
Akibat dari kondisi ini, tidak mengherankan jika posisi nomor dua menjadi incaran bagi mereka yang merasa populer tetapi memiliki kompetensi pemerintahan yang rendah. Dalam situasi seperti itulah, dapat dipahami kalau artis kemudian ramai-ramai merebut atau dianjurkan untuk merebut posisi “ban serep” itu.
Ketiga, hal lain yang turut bertanggung jawab akan fenomena artis berpolitik adalah partai politik itu sendiri. Sebagai institusi pengusung calon-calon pengisi jabatan publik, partai politik merupakan media yang bertanggung jawab bagi hadirnya pejabat publik dari kalangan artis.
Dengan pertimbangan untuk menggaet suara, partai saat ini mencari segala macam cara untuk mendongkrak popularitasnya dan meraih sebanyak mungkin jabatan publik. Sayangnya, dalam konteks mendukung artis untuk berpolitik praktis, memang tidak ada aturan main yang dilanggar oleh partai, selain mungkin aturan kaderisasi internalnya.
Partai politik lebih terfokus untuk bagaimana beriklan dan tampil seatraktif mungkin di depan publik tanpa harus berpusing-pusing apakah tawarannya itu realistis dan mampu benar-benar menjawab persoalan yang dihadapi rakyat. Semuanya itu memperlihatkan bahwa demokrasi kita belumlah mapan.
Demokrasi yang mengisyaratkan sebuah pemerintahan rasional, visioner, dan bertanggung jawab justru dijawab dengan menghadirkan makhluk-makhluk manis yang sejatinya hanya bisa mengumpulkan kerumunan orang untuk kemudian meninggalkannya dan tidak hanya artis. Fenomena bagaimana orang yang tidak berkompeten kemudian berani mengajukan diri ini terjadi di negara AS pada masa-masa awal berlangsungnya demokrasi di negara itu.
Pada masa itu istilah “demokrasi keblinger” menjadi demikian populer yang puncaknya terutama disulut dengan terpilihnya seorang bekas pembuat sepatu menjadi Wakil Gubernur New York (Gonick: 2008). Mungkin dalam hal ini kita bisa berlega hati. Karena memang ternyata demokrasi yang rasional memerlukan waktu yang tidak sebentar, sebagaimana yang juga dialami negara sekaliber AS.











2. Pengertian Demokrasi Menurut UUD 1945


a. Seminar Angkatan Darat II (Agustus 1966)

1) Bidang Politik dan Konstitusional :
Demokrasi Indonesia seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 berarti menegakkan kembali asas-asas negara hukum di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara Institusional. Dalam rangka ini perlu diusahakan supaya lembaga-lembaga dan tata kerja Orde Baru dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan.

2) Bidang Ekonomi:
Demokrasi ekonomi sesuai dengan asas-asas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam UUD 1945 yang pada hakikatnya berarti kehidupan yang layak bagi semua warganegara yang antara lain mencakup :
a) pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara.
b) koperasi
c) pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya.
d) peranan pemerintah yang bersifat pembinaan, penunjuk jalan serta pelindung.

b. Munas III Persahi : The Rule of Law (Desember 1966)

Asas negara hukum Pancasila mengandung prinsip:
1) Pengakuan dan perlindungan hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sasial, ekonomi, kultural dan pendidikan.
2)Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apa pun.
3) Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.

c
. Simposium hak-hak Asasi Manusia (Juni 1967)

Apa pun predikat yang akan diberikan kepada demokrasi kita, maka demokrasi itu harus demokrasi yang bertanggungjawab, artinya demokrasi yang dijiwai oleh rasa tanggungjawab terhadap Tuhan dan sesama kita. Berhubungan dengan keharusan kita di tahun-tahun yang akan datang untuk memperkembangkan “a rapidly expanding economy” maka di samping pemerintah yang kuat dan berwibawa, diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Untuk itu diperlukan kebebasan politik yang sebesar mungkin.
Persoalan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara tiga hal ;
1) adanya Pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan,
2) adanya kebebasan yang sebesar-besarnya,
3) perlunya untuk membina suatu “rapidly expanding economy” (pengembangan ekonomi secara cepat).



Disadur dari buku Memahami Ilmu Politik, Ramlan Surbakti, system politik demokrasi dari pandangan structural secara ideal adalah system politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan ngkup semua diantara individu, diantara berbagai kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan diantara lembaga-lembaga pemerintah.
Akan tetapi, demokrasi hanya akan menolerir konflik yang tidak menghancurkan system. Untuk itu, system politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai penyelsaian dalam bentuk kesepakatan. Prinsip ini pula yang mendasari pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi kewenangan, dan hubungan politik dan ekonomi.
Inti dari politik sesungguhnya adalah agregasi kepentingan semua pihak. Konflik adalah keniscayaan dalam satu system demokrasi yang terbuka dan menuntut kebebasan. Konsesnsus yang digagas dalam berbagai macam atau kemajemukan ide menghasilkan suatu chaos pemikiran dan kegaduhan dalam berpolitik sehingga letak politik adalah menyatukan kesemuanya dalam suatu consensus. Demokrasi memiliki itu semua. Kepemilikan pemikiran tidak terdapat hanya dalam satu tangan seperti pola otoritarian. Tetapi secara terlihat, didalam konsep cdemokrasi sebenarnya terdapat kelompok elitis yang menghendaki suatu konsep yang mereka gagas secara meluas, maka didalam demokrasi sesungguhnya terdapa oligarkis.
Kelompok elitis ini masuk dalam system demokrasi, memiliki agenda setting untuk menjalankan konsep yang dimiliki. Kelompok elit memiliki jaringan yang luas dalam Negara, mencangkup semua elemen dalam perpolitikan.
Dalam kehidupan bernegara, terdapat ribuan kepentingan, jutaan kemauan dan harapan. Kesemua itu harus ditampung dalam Negara. Benturan dari semua inti public itu akan menghasilkan konflik. Disini peran politik melakukan agregasi kepentingan semua khalayak. Politik adalah cara yang paling beradab menyelesaikan konflik. Dalam demokrasi, yang berarti kapitalis liberal menyuguhkan kemasan “individual liberty”, kebebasan individu dari segala aspek sehingga benturan kepentingan sangat mungkin terjadi. Legitimasi  kekuasaan pemerintah dipertaruhkan dalam system demokrasi. “trust”, aatau kepercayaan public harus dijaga kuat agar tidak terjadi ketidakpercayaan public, sehingga pemerintahan menjadi tidak efektif karena legitimasi pemerintah yang rendah. Secara ide, demokrasi adalah kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat. Abraham Lincoln mengatakan, “dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat”.




Demokrasi di Indonesia Pasca Reformasi

Pengalaman demokrasi di Indonesia pernah mengalami keterpurukan. Ketidak berhasilan demokrasi pernah dialami oleh Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Demokrasi yang dikemas dalam kemasan otoritarian adalah demokrasi yang jadi-jadian. Barulah pasca reformasi, setelah menggulingkan rezim otoriter Indonesia mengalami fase demokrasi seutuhnya walaupun secara bentuk procedural. Secara substansi demokrasi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan, tapi semua procedural demokrasi sudah dijalankan Indonesia.
Tetapi ada fenomena menarik yang dialami oleh demokrasi di Indonesia. Euphoria kebebasan yang didapat, gejala demokrasi yang diidap membuat Indonesia sangat bebas dalam berpendapat, berekspresi, dan berserikat. Bagi pemerintah, demokrasi dianggap sebagai bentuk individual liberal kapitalis, sehingga kebijakan yang dibuat berdasarkan mekanisme pasar, tidak memperhatikan gejala yang dialami rakyat yang masih banyak pengangguran, kemiskinan, keterpurakan dari segala bidang terutama pendidikan. Kebijakan atau policy yang diambil berdasarkan mekanisme pasar tidak melihat kebutuhan rakyat, komersialisasi adalah suatu hal yang tidak mengherankan lagi, produk luar membanjiri pasar domestic tanpa ada filterisasi dan perimbangan dari produk dalam negeri. Pasar bebas yang menjadi boomerang bagi Indonesia sendiri. Subsidi banyak dihapuskan padahal rakyat sangat membutuhkan pertolongan, komersialisasi pendidikan diterapkan. Inilah yang dihasilkan dari konsep demokrasi yang kebablasan, euporia demokrasi tanpa asih, pemerintah dan rakyat terjebak dalam demokrasi kapitalis liberal yang sesungguhnya menenggelamkan.
Didalam konstitusi, masih tercantum undang-undang dimana masih banyak urusan negeri yang diatur oleh Negara. Fakir miskin, gelandangan, anak jalanan dipelihara oleh Negara, suber daya alam dan kekayaan negeri dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan untuk kepentingan rakyat, tetapi dalam kebijakan riil nya pemerintah mengabaikan itu semua. Didalam peraturan, Indonesia sesungguhnya belum siap untuk menjalankan demokrasi liberal kapitalis, tapi kebijakan yang dibuat sangat memaksa sehingga terjadi tidak sinkronisasi antara peraturan dan kebijakan. Antara ide dan realita. Das sein das solen.
Sesungguhnya, Negara paling demokratis sekalipun seperti Amerika masih menjalankan konsep sosialis dimana ada beberapa aspek Negara ambil bagian. Baru-baru ini undang-undang kesehatan di Amerika disetujui, mekanisme pasar masih banyak diintervensi Negara pasca krisis 2008. Tetapi di Indonesia, justru memulai untuk mengembalikan semua kebijakan ke mekanisme pasar, pemerintah mulai menjadi penjaga malam, padahal rakyat masih sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah. Masih banyak peraturan yang dibuat untuk kesejahteraan social. Inilah yang disebut “Defisit Demokrasi”(Taufan Damanik). Negara ini terus mengalami kemunduran akibat gagal mengelola demokrasi yang diraih pasca reformasi, bahkan ada anggapan Indonesia sebagai Negara gagal.
Konsep yang paling ideal untuk saat ini adalah “jalan tengah”. Social Demokrasi adalah yang terjadi dibanyak Negara sekarang walaupun tetap dengan wajah dan kemasan demokrasi liberal kapitalis. Indonesia sepatutnya menjadi Negara social demokrasi, jangan lepas segala mekanisme ke alam kebebasan, karena rakyat masih sangat butuh perhatian Negara. Dan tugas Negara adalah mewujudkan welfarestate. Bukan tugas pemerintah adalah memerintah.     Demokrasi procedural tetap dijalankan dengan baik, tetapi peran Negara dibeberapa sector adalah perlu. Tidak melepas mekanisme pasar secara keseluruhan ke pasar bebas karena akan mematikan produk dalam negeri, mengutamakan pengelolaan sumber daya dalam negeri, mengambil alih kepemilikan asing yang menyedot sumber daya alam yang seharusnya bagi masyarakat, pihak asing boleh masuk sebagai investor, tetapi bukan berarti menyerahkan semua sumber daya ke pihak asing dengan imbalan pajak atau upeti yang besar, karena yang terkandung dalam tanah Indonesia adalah milik rakyat Indonesia, pemerintah hanya menguasai, bukan mengambil alih lalu menjualnya.  


Tidak ada komentar: